Jika
kita membicarakan tentang defenisi perjanjian, maka pertama-tama harus
diketehui ketentuan pengertian perjanjian yang diatur oleh KUHPerdata
pasal 1313 yang berbunyi:
“perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Dengan
adanya pengertian tentang perjanjian seperti ditentukan di atas, bisa
diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan
perjanjian adalah sama dan seimbang, hali ini akan berlainan jika
pengertian perjanjian tersebut dibandingkan dengan kedudukan perjanjian
kerja.
Di
dalam pengertian perjanjian kerja, para pihak yang mengadakan
perjanjian tidak dalam kedudukan yang sama dan seimbang, karena pihak
yang satu yaitu pekerja mengikatkan diri dan bekerja dibawah perintah
orang lain, yaitu pengusaha.
Akan
tetapi jika pengertian mengenai perjanjian seperti tersebut diatas
dilihat secara mendalam akan terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata
mempunyai arti yang luas dan umum sekali sifatnya, selain itu juga
tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian tersebut dibuat. Hal ini
terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut konsepsi pasal
1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang atau lebih
mengikatkan dirinya pada pihak lainnya, dan sama sekali tidak menentukan
untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat.
Karena
itu suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas artinya, jika
pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
Dalam suatu perjanjian dikenal adanya asa kebebasan berkontrak atau freedom of contract. Maksud
asa tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat
perjanjian yang berisi dan macam apapun, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Atau dengan pengertian
lain asas kebebasan kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian yang
berisi apa saja, sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan.
Selanjutnya dalam suatu perjanjian, pasal-pasal yang mengatur tentang perjanjian tersebut, biasa dinamakan dengan optimal law. Karena ketentuan dari pasal-pasal yang mengaturnya, boleh disingkirkan oleh pihak yang membuat suatu perjanjian.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, SH, dalam bukunya yang berjudul hukum perikatan, antara lain disebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsure, yaitu:
a. Ada pihak-pihak
b. Ada persetujuan antara para pihak
c. Ada tujuan yang akan dicapai
d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan
e. Ada bentuk tertentus
f. Ada syarat-syarat tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar