Sabtu, 25 Februari 2012

Hukuman Mati, Inkonsistensi Negara Terhadap Ideologi dan Konstitus

Pro dan kontra mengenai hukuman mati akhir-akhir ini kembali mencuat setelah sembilan hakim konstitusi berbeda pendapat ketika melakukan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945 khususnya mengenai penerapan hukuman mati dalam UU Narkotika. Enam hakim, termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan pasal 28 A dan pasal 28 I UUD 1945. Sedangkan tiga hakim lainnya, yaitu Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan Maruarar Siahaan, menyatakan ketidak-setujuannya atas eksistensi hukuman mati.

Sungguh mengecewakan mendengar beberapa pejabat negara, seperti Ketua DPR Agung Laksono, mengemukakan pendapatnya untuk segera melakukan eksekusi mati terhadap terpidana mati, khususnya pelaku kasus bom Bali. Mereka yang seharusnya melindungi hak asasi dari setiap warga negara justru menginginkan eksekusi mati atas warga negaranya. Terlebih lagi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi yang mengatakan bahwa hukuman mati tidak mengurangi hak hidup dan bukan bentuk balas dendam atas tindakan kejahatan. Tetapi selanjutya Hasyim mengatakan apabila seseorang yang telah dieksekusi mati ternyata tidak bersalah, maka itu menjadi tanggung jawab hakim yang memutuskan hukuman mati tersebut dan kesalahan hakim seperti itu pantas diganjar hukuman mati. Jadi, sebenarnya argumen apa yang digunakan Hasyim untuk mengatakan bahwa hukuman mati itu bukan bentuk balas dendam atas kesalahan seseorang?

Perlu diketahui bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum kita ini adalah untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah­kan martabat manusia. Hukuman mati bukan cara yang tepat untuk membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana dan dengan eksekusi mati, tujuan untuk memasyarakatkan terpidana agar menjadi orang yang baik dan berguna serta dapat diterima kembali di masyarakat tidak dapat tercapai. Hukuman mati ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik. Sehingga muncul pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang bersangkutan menjalani double punishment.

Sesuai dengan Pancasila yang memiliki kedudukan sebagai dasar filsafat kenegaraan dan merupakan guiding principle dalam menjalankan kegiatan bernegara di Indonesia, khususnya sila pertama dan kedua, dalam UUD 1945 pasal 28 A disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selanjutnya pasal 28 I ayat 1 menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Maka, patut kita pertanyakan metode penafsiran apa yang digunakan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan lima hakim konstitusi lainnya yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945?

Selain pasal 28 UUD 1945, hak untuk hidup juga diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 4 UU HAM dinyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non-derogable rights). Dengan dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia berarti negara telah mengabaikan kewajibannya untuk menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya.

Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya. Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya.

Dalam forum internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melakukan penelitian mengenai hukuman mati pada tahun 1988 dan memperbaharuinya pada tahun 2002. Dalam kesimpulannya dinyatakan "…it is not prudent to accept the hypothesis that capital punishment deters murder to a marginally greater extent than does the threat and application of the supposedly lesser punishment of life imprisonment". Berdasarkan penelitian tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan agar setiap negara menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum nasionalnya, serta tidak perlu khawatir akan terjadinya peningkatan tindak kejahatan apabila hukuman mati tersebut dihapuskan.

Hukuman mati belum tentu akan membuat angka kejahatan akan berkurang atau membuat seseorang merasa takut untuk melakukan kejahatan sejenis dengan terpidana mati. Seperti kita ketahui pada kasus Poso, eksekusi mati terhadap Tibo Cs tidak membuat warga Poso takut untuk terlibat konflik antar kelompok seperti yang dilakukan Tibo Cs, tetapi justru memicu konflik antara kelompok pendukung dan kelompok penentang eksekusi mati terhadap Tibo Cs. Dari kasus ini terlihat bahwa tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan upaya pencegahan tindak kejahatan. Maka, dapat dikatakan hukuman mati sama dengan gambling with human life.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer