Pro
dan kontra mengenai hukuman mati akhir-akhir ini kembali mencuat
setelah sembilan hakim konstitusi berbeda pendapat ketika melakukan
pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945 khususnya mengenai penerapan
hukuman mati dalam UU Narkotika. Enam hakim, termasuk Ketua Mahkamah
Konstitusi Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa hukuman mati tidak
bertentangan dengan pasal 28 A dan pasal 28 I UUD 1945. Sedangkan tiga
hakim lainnya, yaitu Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan Maruarar
Siahaan, menyatakan ketidak-setujuannya atas eksistensi hukuman mati.
Sungguh
mengecewakan mendengar beberapa pejabat negara, seperti Ketua DPR Agung
Laksono, mengemukakan pendapatnya untuk segera melakukan eksekusi mati
terhadap terpidana mati, khususnya pelaku kasus bom Bali.
Mereka yang seharusnya melindungi hak asasi dari setiap warga negara
justru menginginkan eksekusi mati atas warga negaranya. Terlebih lagi
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi yang
mengatakan bahwa hukuman mati tidak mengurangi hak hidup dan bukan
bentuk balas dendam atas tindakan kejahatan. Tetapi selanjutya Hasyim
mengatakan apabila seseorang yang telah dieksekusi mati ternyata tidak
bersalah, maka itu menjadi tanggung jawab hakim yang memutuskan hukuman
mati tersebut dan kesalahan hakim seperti itu pantas diganjar hukuman
mati. Jadi, sebenarnya argumen apa yang digunakan Hasyim untuk
mengatakan bahwa hukuman mati itu bukan bentuk balas dendam atas
kesalahan seseorang?
Perlu diketahui bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum kita ini adalah untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan
pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia. Hukuman mati bukan cara yang tepat untuk membebaskan
rasa bersalah terhadap terpidana dan dengan eksekusi mati, tujuan untuk
memasyarakatkan terpidana agar menjadi orang yang baik dan berguna serta
dapat diterima kembali di masyarakat tidak dapat tercapai. Hukuman mati
ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana,
baik pada saat menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri.
Pada saat menunggu eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental
atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya
eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik. Sehingga muncul
pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang
bersangkutan menjalani double punishment.
Sesuai dengan Pancasila yang memiliki kedudukan sebagai dasar filsafat kenegaraan dan merupakan guiding principle
dalam menjalankan kegiatan bernegara di Indonesia, khususnya sila
pertama dan kedua, dalam UUD 1945 pasal 28 A disebutkan bahwa setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Selanjutnya pasal 28 I ayat 1 menyebutkan bahwa hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun. Maka, patut kita pertanyakan metode
penafsiran apa yang digunakan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly
Asshiddiqie dan lima hakim konstitusi lainnya yang menyatakan bahwa
hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945?
Selain
pasal 28 UUD 1945, hak untuk hidup juga diatur dalam UU No.39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 4 UU HAM dinyatakan bahwa
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun (non-derogable rights). Dengan dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia berarti negara telah mengabaikan kewajibannya untuk menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya.
Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di Indonesia
merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi
negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak
hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa
negara menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya. Tetapi dalam
perundang-undangan Indonesia masih banyak Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya.
Dalam
forum internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melakukan
penelitian mengenai hukuman mati pada tahun 1988 dan memperbaharuinya
pada tahun 2002. Dalam kesimpulannya dinyatakan "…it is not prudent
to accept the hypothesis that capital punishment deters murder to a
marginally greater extent than does the threat and application of the
supposedly lesser punishment of life imprisonment". Berdasarkan
penelitian tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan agar setiap
negara menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum nasionalnya, serta
tidak perlu khawatir akan terjadinya peningkatan tindak kejahatan
apabila hukuman mati tersebut dihapuskan.
Hukuman
mati belum tentu akan membuat angka kejahatan akan berkurang atau
membuat seseorang merasa takut untuk melakukan kejahatan sejenis dengan
terpidana mati. Seperti kita ketahui pada kasus Poso, eksekusi mati
terhadap Tibo Cs tidak membuat warga Poso takut untuk terlibat konflik
antar kelompok seperti yang dilakukan Tibo Cs, tetapi justru memicu
konflik antara kelompok pendukung dan kelompok penentang eksekusi mati
terhadap Tibo Cs. Dari kasus ini terlihat bahwa tidak ada korelasi
antara hukuman mati dengan upaya pencegahan tindak kejahatan. Maka,
dapat dikatakan hukuman mati sama dengan gambling with human life.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar