Kamis, 28 Maret 2013

Antara MoU (memorandum of understanding) dengan Perjanjian

Sebuah nota kesepahaman memorandum of understanding atau MoU adalah sebuah dokumen legal yang menjelaskan persetujuan antara dua belah pihak. MoU tidak seformal sebuah kontrak.

MoU adalah nota kesepahaman, tingkatannya di bawah perjanjian, dan dokumen ini hanya merupakan sebuah Nota Kesepahaman dan tidak memiliki ikatan hukum bagi para pihak. Hal ini disebabkan MoU ini lebih sebagai good will para pihak yang berencana membuat perjanjian, sebelum perjanjian definitif dibuat. Selanjutnya, batas waktu MoU ini relatif pendek (misalnya paling lama 1 tahun), setelah waktu yang disepakati lewat dan belum dibuatkan perjanjian detil definitif, MoU ini akan ditinjau ulang oleh para pihak dalam MoU, dan dapat direvisi atau diperpanjang secara bersama-sama dengan perjanjian definitif tertulis. Dalam melakukan revisi, masing-masing pihak harus memberikan pertimbangan penuh terhadap usul amandemen yang disusun oleh pihak lain. Amandemen tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari MoU ini.

Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui oleh mereka. Ketentuan umum mengenai kontrak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Syarat kontrak
Untuk dapat dianggap sah secara hukum, ada 4 syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia:
  1. Kesepakatan para pihak
  2. Kecakapan para pihak
  3. Mengenai hal tertentu yang dapat ditentukan secara jelas
  4. Sebab/causa yang diperbolehkan secara hukum.
Tahapan urutan pembuatan kontrak :
1. Pendahuluan
  Berisi judul dan Pembukaan.

2.Akibat dari tidak dipenuhinya syarat kontrak

Tidak dipenuhinya syarat No. 1 dan 2 di atas memberi dasar kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memohon kepada pengadilan yang berwenang untuk membatalkan kontrak tersebut. Sementara itu, pelanggaran atas syarat No. 3 dan 4 mengakibatkan kontrak yang bersangkutan menjadi batal demi hukum.

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

perbedaan Memorandum of Understanding (Mou)  dengan Kontrak.

Perlu Anda ketahui, bahwa pengertian secara garis besar antaranya keduanya itu sama saja yakni suatu ‘kesepakatan’ yang harus ditunaikan oleh dua pihak yang saling mengikatkan diri. namun antara keduanya itu mempunyai perbedaan yang sangat penting.

Memorandum of Understanding (MoU) dalam bahasa Indonesia berarti Nota Kesepahaman. Di dalam MoU ini dituangkan bahwa kedua pihak secara prinsip sudah memahami dan akan melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu sesuai isi dari MoU tersebut. Sanksi dari tidak dipenuhinya/pengingkaran dari sebuah MoU sifatnya moral, bukan denda atau hukuman. Sedangkan Perjanjian (Kontrak), sebuah perbuatan hukum yang dibuat antar pihak yang minimbulkan hak dan kewajiban dn berakibat pada sanksi bagi pihak yang mengingkari atau lalai dalam melaksanakan perjanjian tersebut. (Baca Bab Konsultasi Hukum terdahulu di tabloid ini berjudul: Perjanjian dan Wanprestasi).

Di bawah ini akan coba saya jelaskan mengenai pengertian tentang MoU dan Kontrak dalam pengertian yang khusus.

Berikut ini adalah beberapa hal mendasar mengenai Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU):

Pertama, nota kesepahaman yang dibuat antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya, baik dalam suatu negara maupun antar negara untuk melakukan kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan untuk jangka waktunya tertentu.
Kedua, MuO menjadi dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan dengan memuat hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun secara lisan.

Ketiga, MoU merupakan ‘kesepakatan’ awal/ pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam sebuah perjanjian  yang pengaturannya lebih rinci (detail), karena itu, MoU berisikan hal-hal yang pokok saja.

Keempat, MoU menjadi dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi MoU harus dimasukkan ke dalam perjanjian, sehingga mempunyai kekuatan mengikat dan ditambah pasal tentang sanksi serta pilihan hukum pengadilan mana yang akan memeriksa bila terjadi wanprestasi.

Bagaimana tentang Perjanjian atau sering disebut Kontrak? Pengertiannya dapat ditemukan dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu: “Suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Pendapat lain tentang kontrak dapat ditemukan dalam Black’s Law Dictionary, bahwa kontrak adalah: “Suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus”.

Pengertian tersebut menegaskan tentang subjek dan objek yang dipakai antara keduanya itu sangat berbeda pemberlakuannya. MoU subjeknya dapat digolongkan kepada dua subjek yaitu pihak atau subjek yang berlaku secara nasional maupun internasional. Subjek nasional adalah antar badan hukum privat Indonesia, badan hukum privat dengan pemerintah Provinsi, Kabupaten atau Kota, juga antar badan hukum publik di Indonesia, antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara asing,  antara badan hukum privat Indonesia dengan badan hukum privat negara asing.  Objek dari MoU adalah kerjasama dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, perhutanan, kehutanan dan lain-lain.

Sedangkan subjek kontrak digolongkan kepada dua jenis, yaitu kreditur, yaitu pihak yang berhak atas sesuatu dari pihak lain dan  Debitur, yaitu pihak yang berkewajiban memenuhi sesuatu kepada kreditur.  Sementara objek dari kontrak yakni, menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu  dan tidak melakukan sesuatu.

Disini dapat dijelaskan,  bahwa antara MoU dengan kontrak itu adalah dua istilah yang berbeda. Perbedaan tersebut juga terlihat dari sumber hukum yang dipakai antara keduanya.

Baik MoU maupun Kontrak, memiliki sumber hukum yang sama antara lain, Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, Undang-Undang No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, doktrin dan kebiasaan. Selain itu, mengenai kontrak, juga dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

Perbedaan substansial dari MoU dan kontrak adalah, MoU tidak memiliki akibat/sanksi hukum yang tegas karena hanya merupakan ikatan moral, sedangkan kontrak mempunyai akibat/sanksi hukum bagi para pihak.

Dilihat dari materi, MoU hanya memuat hal-hal yang pokok saja, sedangkan dalam kontrak sebagian materi yang digunakan memuat ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan secara terperinci .

Meskipun begitu, persetujuan yang disepakati para pihak baik dalam suatu MoU maupun dalam perjanjian harus dijalankan dengan itikad baik dan tanpa paksaan dari salah satu pihak. Dalam perjanjian, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar oleh salah satu pihak, maka perikatan perjanjian menjadi batal demi hukum.

Dalam perjanjian juga dikenal istilah Wanprestasi, halmana salah satu pihak yang terikat dalam suatu perjanjian lalai atau tidak melakukan kewajibannya, maka pihak lainnya berhak atas ganti rugi (prestasi)  yang ditimbulkan sesuai ketentuan yang disepakati dalam perjanjian tersebut. Baik karena kesengajaan mau pun kealpaan (kelalaian) yang dilakukan salah satu pihak.

Dalam MuO tidak dikenal istilah wanprestasi. Kelalaian para pihak dalam menunaikan kewajiban masing-masing, hanyalah akan memperoleh sanksi moral, misalnya dikucilkan dalam pergaulan dan dianggap sebagai “pihak yang tidak dapat dipercaya” saja.

Rabu, 14 Maret 2012

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGALIHAN HAK SEWA TOKO TANPA PERSETUJUAN PEMILIK


  A.    LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Ketentuan tentang sewa menyewa diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu di dalam Buku ketiga Bab VII mulai dari Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Dalam Pasal 1548 KUH Perdata  ditentukan bahwa sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya.
Dalam perjanjian tersebut, para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan isi, bentuk dan juga objek sewa-menyewa asal saja memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata).
Perjanjian sewa-menyewa merupakan suatu bentuk perjanjian yang sering dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Hubungan hukum ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan dimana pihak yang satu tidak memiliki barang yang dibutuhkan, sehingga harus menyewanya dari orang lain dengan membayar uang sewa kepada pihak yang menyewakan atas kenikmatan yang ia dapatkan dari barang yang disewa dalam jangka waktu tertentu.
Salah satu objek perjanjian sewa-menyewa yang sekarang ini sangat dibutuhkan dalam kegiatan perekonomian adalah toko. Yang dimaksud dengan toko adalah bangunan yang terletak di pinggir jalan atau dalam komplek perdagangan dan digunakan sebagai sarana untuk berdagang dan mencari keuntungan dengan berbagai jenis usaha. Seperti berjualan pakaian jadi, kelontong, alat elekronik, rumah makan, bengkel maupun berbagai jenis usaha lain.
Dalam praktek menurut penelitian di kota Banda Aceh diketahui maraknya perjanjian sewa-menyewa toko ini timbul karena besarnya tingkat permintaan bangunan untuk usaha dan sebagian pengusaha yang berprofesi sebagai pedagang tidak memiliki bangunan sendiri untuk usahanya, sehingga harus menyewa milik orang lain dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, tingginya permintaan sewa-menyewa toko ini juga diakibatkan banyaknya bangunan toko yang rusak akibat bencana tsunami beberapa tahun yang lalu sehingga sebagian korban yang merupakan para pedagang tidak lagi memiliki bangunan ruko untuk usahanya.
Perjanjian sewa-menyewa ruko biasanya dibuat dalam bentuk tertulis dan ada pula yang hanya dibuat secara lisan dengan disertai selembar kwitansi pembayaran harga sewa sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Dalam perjanjian sewa-menyewa toko selama ini telah mencakup nilai yang relatif  besar akibat tingginya permintaan, hal ini juga terlihat pada beberapa lokasi strategis lainnya di kota Banda Aceh. Harga sewa bangunan toko mencapai nilai puluhan juta rupiah seperti di kawasan Simpang Surabaya, Pasar Aceh. dan Pasar Peunayong yang harga sewanya berkisar antara 25-50 juta pertahun.
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa akibat tingginya nilai sewa ruko ini mengakibatkan sebagian pengusaha mengalami kemerosotan penghasilan karena penghasilannya harus dipotong biaya sewa toko tiap tahun. Sebagian pengusaha memilih untuk tidak melanjutkan usahanya sementara sisa jangka waktu perjanjian sewa toko masih lama sehingga menyebabkan si penyewa ingin mengalihkan hak sewanya kepada pihak lain. Pengalihan hak sewa ini tentunya merupakan salah satu pelanggaran terhadap isi perjanjian yang dibuat sebelumnya. Dimana dalam perjanjian terdapat ketentuan bahwa penyewa tidak boleh mengalihkan bangunan toko yang disewanya kepada pihak lain selama perjanjian berlangsung.
Hasil penelitian di Kota Banda Aceh saat ini juga ditemukan adanya pengalihan hak sewa bangunan toko kepada pihak lain tanpa persetujuan pemilik bangunan toko. Hal ini sebagaimana terjadi pada objek sewa di kawasan Simpang Surabaya, Jeulingke, dan Lamteumen Banda Aceh, di mana semula di sewa selama tiga tahun untuk usaha pangkas, namun kemudian beralih menjadi bengkel karena penyewa pertama mengalihkan kepada pihak lain. Hal ini tentunya mengakibatkan kerugian bagi pemilik khususnya menyangkut kondisi toko yang semula hanya merupakan tempat pangkas telah menjadi bengkel sepeda motor yang dalam kegiatan usahanya biasanya berdampak pada kondisi bangunan toko. Demikian pula pada beberapa lokasi lainnya seperti di pasar setui dan Neusu juga ditemukan adanya pengalihan tersebut baik terhadap perjanjian yang dibuat secara tertulis maupun perjanjian yang dibuat secara lisan.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut adalah:
1.      Apakah faktor yang menyebabkan pihak penyewa mengalihkan hak sewanya kepada pihak lain?
2.      Apakah akibat hukum yang timbul dari tindakan pengalihan hak sewa tersebut terhadap para pihak?
3.      Bagaimanakah penyelesaian sengketa pengalihan hak sewa tersebut dilakukan?

B.     TINJAUAN PUSTAKA
1.      Pengertian perjanjian dan perjanjian sewa menyewa
Ketentuan Buku III KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian mempunyai arti yang lebih luas sedangkan para sarjana memberikan defenisi yang beraneka ragam tentang perjanjian. Di dalam ketentuan Buku III Pasal 1313 KUH Perdata ditentukan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Pengertian perjanjian juga diberi oleh para ahli hukum, diantaranya subekti, yang mengatakan bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana 2 (dua) orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.[1]
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara 2 (dua) pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu”.[2] Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa “perikatan yaitu persetujuan yang terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih yang terletak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang lainnya memenuhi prestasi”.[3] Selanjutnya menurut Abdul kadir Muhammad. “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana 2 (dua) orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan dalam lapangan harta kekayaan”.[4]
Dari berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas bahwa perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang lahir dari adanya janji atau kesepakatan kedua pihak atau lebih dimana pihak yang satu (debitur) mengikatkan dirinya pada pihak lain (kreditur) dengan maksud untuk menimbulkan suatu akibat hukum terhadap prestasi yang disepakati bersama.
Dapat dikatakan bahwa akibat hukum dari perjanjian/perikatan yaitu suatu perhubungan hukum antara dua pihak/lebih berdasarkan mana pihak yang lain berhak menuntut suatu hal yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian yang melahirkan suatu perikatan dapat diketahui dalam Pasal 1233 KUH Perdata. “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena undang-undang”.
Jadi dari semua uraian di atas dapat diketahui bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki pada pihak, sedangkan perikatan yang timbul karena undang-undang menurut Pasal 1352 KUH Perdata diperinci menjadi dua; yaitu perikatan yang timbul semata-mata karena undang-undang dan perikatan yang timbul dari undang-undang akibat dari perbuatan orang. Jadi dalam hal ini perikatan merupakan peristiwa hukum yang konkrit karena adanya dua pihak yang bersepakat dalam bentuk menandatangani perjanjian.
Selanjutnya mengenai pengertian perjanjian sewa menyewa dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1548 KUH Perdata, perjanjian sewa menyewa adalah “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari sesuatu barang selama waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya”.
Menurut Arief Masoeki dan H.M. Tirta Amijaya, perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian untuk menyerahkan suatu barang untuk digunakan dalam jangka waktu tertentu dengan harga tertentu pula.[5]
Jadi, perjanjian sewa menyewa adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu memberikan sesuatu barang kepada pihak yang lain untuk dinikmati selama jangka waktu tertentu dengan kewajiban membayar sejumlah harga sewa kepada pihak yang menyewakan. Dengan ketentuan waktu yang tertentu tersebut, tidak berarti bahwa perjanjian sewa menyewa hanya terbatas pada waktu tertentu saja tetapi para pihak dapat saja membuatnya dengan tanpa batas waktu. Namun, harus ditentukan tentang jenis barang dan besarnya harga sewa dalam waktu tertentu selama berlangsungnya sewa menyewa.
2.      Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Sewa Menyewa
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap orang bebas mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian serta bebas untuk menentukan bentuk dan isi dari perjanjian dimaksud menurut yang dikehendaki dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya Pasal 1320 KUH Perdata menegaskan bahwa “untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat”, yaitu:
1        Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2        Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3        Suatu hal tertentu dan;
4        Suatu sebab yang halal.
Ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kesepakatan yang dimaksud merupakan persetujuan kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian. Mengenai hal ini, Subekti merumuskan bahwa “maksud dari kesepakatan itu adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok, apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lain dan mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik”.[6]
Sedangkan Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa sepakat sebagai suatu persetujuan kehendak, seia sekata antara para pihak yang membuat perjanjian itu, pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.[7] Dalam kesepakatan ini menunjukkan bahwa orang sebagai subjek hukum bebas menyatakan kehendaknya. Lahirnya suatu perjanjian karena adanya kesepakatan kedua belah pihak yang dinyatakan secara tertulis maupun secara lisan.
Dalam perjanjian sewa menyewa ruko, kesepakatan antara para pihak baik secara tertulis maupun secara lisan. Pihak yang menyewakan secara bersama dengan penyewa membuat perjanjian sewa menyewa tersebut. Akibat adanya perjanjian tersebut maka terjadi hubungan hukum antara pemilik sebagai pihak yang menyewakan dengan penyewa. Apabila kesepakatan telah tercapai di antara para pihak, maka para pihak terikat untuk mentaati semua isi perjanjian yang telah mereka sepakati tersebut. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Ad.2. kecakapan untuk membuat perjanjian
Dalam membuat suatu perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan harus dapat mempertanggung jawabkannya.[8] Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1329 KUH Perdata “bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang-orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap”.
M. Yahya Harahap, menyatakan banwa “subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan adalah orang yang mampu melakukan tindakan hukum. Umumnya mereka yang mampu melakukan tindakan hukum adalah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di bawah perwalian maupun di bawah pengampuan.[9]
Ad.3. Suatu hal tertentu
yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah sesuatu yang di dalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati. Ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1313 KUH Perdata bahwa barang yang menjadi objek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung, atau barang yang akan ada dikemudian hari juga bisa menjadi objek dari suatu perjanjian, ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata. Selain itu yang harus diperhatikan adalah " suatu hal tertentu " haruslah sesuatu hal yang biasa dimiliki oleh subjek hukum.[10]
Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu dianggap batal demi hukum.[11]
Pernyataan yang demikian sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH perdata yang menyatakan bahwa “hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya.
Ad.4. Suatu sebab yang halal
Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi suatu syarat yang dinamakan dengan sebab atau alasan yang diperbolehkan. Tetapi yang dimaksudkan dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.
Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.[12]
Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada.[13] Dengan demikian apabila dalam membuat suatu perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan perundang-undangan, maka perjanjian itu juga tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
3.      Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa menyewa
Hak pihak yang menyewakan (pemilik objek sewa) diatur dalam Pasal 1548 KUH Perdata, yang terpenting adalah;
1.      Menerima kembali barang dan kelengkapannya termasuk surat-surat yang berhubungan dengan objek sewa menyewa yang telah disewakan kepada penyewa setelah habis batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian.
2.      Menerima harga sewa dari barang yang disewakannya kepada penyewa sejumlah yang disepakati dalam perjanjian.
Sebaliknya dalam Pasal 1551 KUH Perdata terdapat kewajiban pihak yang menyewakan:
1.      Meyerahkan barang yang disewakan kepada pihak penyewa.
2.      Memelihara barang yang disewakan, sehingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan oleh penyewa.
3.      Memberikan kepada penyewa suatu kenikmatan yang tentram dalam menikmati barang yang disewa.
4.      Melakukan pembetulan-pembetulan pada barang-barang yang disewakan yang menjadi kewajibannya.
5.      Menanggung penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan, yang menyebabkan terintangnya pemakaian barang.
Pasal 1550 KUH Perdata menyebutkan bahwa “penyerahan barang kepada penyewa haruslah dalam keadaan baik dan terpelihara seluruhnya, sehingga penyewa dapat menikmatinya tanpa harus memperbaikinya terlebih dahulu, kecuali sebelumnya telah diperjanjikan tentang hal tersebut”
Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara barang yang disewakan, sehingga barang tersebut dapat dipakai sebagaimana yang dimaksudkan oleh penyewa berarti sebelum barang diserahkan maupun pada saat barang itu ada di tangan penyewa, kewajiban memelihara tetap ada pada pihak yang menyewakan, sehingga pemeliharaan ini ditanggung bersama antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa.[14]
Untuk kewajiban pihak penyewa dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1581 KUH Perdata yang mewajibkan penyewa untuk melengkapi perabot dalam rumah yang disewa, tujuannya adalah untuk melindungi atau menjamin pembayaran harga sewa kepada yang menyewakan, sehingga jika pihak penyewa tidak melakukan pembayaran, maka perabot-perabot yang ada di dalam rumah dapat dipergunakan untuk melunasi harga sewa yang tidak dibayar. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Subekti, bahwa perabot rumah itu dijadikan jaminan untuk pembayaran uang sewa.[15]
Pihak penyewa mempunyai tanggung jawab terhadap kerusakan yang terjadi karena kesalahannya, sedangkan apabila kerusakan di luar kesalahan pihak penyewa, pihak penyewa dibebaskan dari tanggung jawab. Pihak penyewa dilarang mengulang sewakan barang yang menjadi objek sewa kepada orang lain. Mengulang sewakan adalah jika penyewa menyewakan lagi barang kepada orang lain, tetapi perjanjian sewa masih dipertahankan, sehingga penyewa itu berada dalam hubungan sewa dengan pemilik.[16]
Selanjutnya yang menjadi hak penyewa adalah pada perjanjian pokok yang meliputi semua kewajiban yang ada pada pihak yang menyewakan seperti yang diuraikan di atas, diantara yang utama adalah hak untuk menerima barang yang disewanya dan menikmati barang yang disewa dangan aman dan tenteram selama masa penyewaan.
4          Prestasi dan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa
Dalam setiap perjanjian yang melibatkan dua pihak pastilah mempunyai hak dan kewajiban. Hak bagi salah satu pihak merupakan kewajiban/prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak lainnya. Demikian pula dalam perjanjian sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensuil, dimana ada dua pihak; yaitu pihak yang menyewakan (pemilik atau kuasanya) dan penyewa. Dengan adanya dua pihak ini, maka hak kewajiban para pihak merupakan prestasi yang harus dilaksanakan.
Menurut Yahya Harahap prestasi adalah objek atau voorweb dari verbintennis, tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai kedudukan sebagai chudeisert atau kreditur, pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.[17]
Dalam membuat perjanjian sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu bahwa dalam suatu perjanjian terdapat para pihak dimana masing-masing pihak mempunyai kewajiban yang timbul dari perjanjian yang telah disepakati bersama. Hak dan kewajiban itu harus dilaksanakan secara sukarela. Apabila hak dan kewajiban tersebut tidak dilaksanakan atau dengan kata lain tidak memenuhi apa yang dijanjikan maka ia dikatakan melakukan wanprestasi (ingkar janji).
Istilah wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa belanda yang berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.[18]
Menurut Abdul Kadir Muhammad wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya/sepatutnya.[19] Sedangkan menurut wirjono Prodjodikoro, wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi dan prestasi dalam hukum perjanjian berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai suatu perjanjian.[20]
Sekalipun wanprestasi itu merupakan kelalaian debitur, tetapi dalam prakteknya sangat sulit menentukan wanprestasi tersebut. Pasal 1238 KUH Perdata secara tegas menyatakan bahwa “Si berutang adalah lalai, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ia menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Selanjutnya dalam hal wanprestasi, Subekti menyebutkan bahwa “apabila dalam tenggang waktu debitur tidak memenuhi kewajiban prestasinya, maka dapat dikatakan debitur wanprestasi.[21]
Berdasarkan pendapat di atas, bila dalam suatu perjanjian telah ditentukan bahwa objek dari suatu perjanjian akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan, namun pada waktu tersebut objeknya tidak diserahkan, sedangkan waktu telah tiba untuk diserahkan. Dalam hal ini dikatakan telah terjadi wanprestasi atau ingkar janji

C.    RUANG LINGKUP DAN TUJUAN PENELITIAN
Ruang lingkup penulisan skripsi ini adalah dalam bidang hukum perdata khususnya dalam hukum perjanjian. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam wilayah Kota Banda Aceh khususnya dalam perjanjian sewa menyewa bangunan toko sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk menjelaskan faktor yang menyebabkan pihak penyewa mengalihkan hak sewanya kepada pihak lain.
2.      Untuk menjelaskan akibat hukum yang timbul dari tindakan pengalihan hak sewa tersebut terhadap para pihak apabila dikaitkan dengan ketentuan perjanjian.
3.      Untuk menjelaskan penyelesaian sengketa pengalihan hak sewa tersebut dilakukan.

D.    METODE PENELITIAN
1.      Defenisi operasional variable-variabel penelitian
a.       Perjanjian adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
b.      Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.
c.       Bangunan toko adalah bangunan yang terletak dipinggir jalan atau dalam komplek perdagangan dan digunakan sebagai sarana untuk berdagang dan mencari keuntungan dengan berbagai jenis usaha
d.      Perjanjian sewa-menyewa toko adalah perjanjian sewa-menyewa dengan objek perjanjian bangunan ruko.
e.       Pengalihan hak sewa adalah pengalihan hak sewa yang dilakukan oleh penyewa kepada pihak lain tanpa persetujuan pemilik.
2.      Lokasi dan populasi penelitian
a.       Lokasi penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian adalah dalam wilayah Kota Banda Aceh khususnya pada beberapa lokasi strategis perdagangan seperti Pasar Peunayong, Pasar Aceh. Jeulingke, Simpang Surabaya dan Lanteumen.
b.      Populasi penelitian
Populasi dalam penelitian ini meliputi pemilik bangunan, penyewa yang mengalihkan hak sewa, penerima pengalihan, kepala desa dan notaris.
3.      Cara pengambilan sampel
Pengambilan sampel dari penelitian ini dilakukan secara kelayakan (purposive sampling). Yaitu sampel diambil dari populasi yang diperkirakan dapat mewakili keseluruhan populasi yang terdiri dari responden dan informan.
a.       Responden :
1)      Pemilik bangunan toko 7 orang
2)      Penyewa yang mengalihkan hak sewa toko 7 orang
3)      Penerima pengalihan hak sewa 7 orang
b.      Informan :
1)      Kepala Desa 5 orang
2)      Notaris di Banda Aceh 5 orang
4.      Cara pengumpulan data
a.       Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, teori yang berhubungan dengan tulisan ini.
b.      Penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk meperoleh data primer yang dilakukan dengan cara wawancara dengan responden dan informan.
5.      Cara menganalisis data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menghasilkan data deskriptif analisis terhadap peralihan hak sewa yang dilakukan oleh penyewa kepada pihak ketiga. Bahan analisis diperoleh baik secara tertulis atau dokumen-dokumen perjanjian yang dibuat para pihak maupun secara lisan dari wawancara dengan responden dan informan, kemudian dipelajari dan diteliti sebagai suatu kesatuan yang utuh. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan analisis yang mampu menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.


DAFTAR PUSTAKA

AbdulKadir Muhammad, Segi-segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986.
……., Hukum Perikatan Indonesia, Alumni, Bandung, 1990.
Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB, Pembimbing Masa, Jakarta, 1976.
……., Hukum Dagang, Pradya Paramita, Jakarta, 1990.
Arief Masdoeki dan H.M. Tirtaamitdjaya, Asaa-asas dan Dasar Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta, 1976.
Departemen Kehakiman, Kumpulan Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata, Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983.
Munir Fuadi, Hukum Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985.
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung 1977.
Subekti, R., Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1977.
……., Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1987.
……., Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1988.
Suryaningrat, M. Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1973.
……., Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1974.
Yahya Harahap, M. Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982.




[1] R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intelmasa, Jakarta, 1987, hlm 1
[2] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, cetakan V, Penerbit Sumur, Bandung, 1986, hlm 9.
[3] Mariam Darul badrulzaman,KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1983, hlm 110
[4] AbdulKadir Muhammad, Hukum perikatan, Alumni, Bandung, 1990, hlm 78
[5] Arief Madoeki dan H.M.Tirta Amijaya, Asas-Asas Hukum Perdata, Djambatan, Jakarta, 1986, hlm 144
[6] Subekti, Ibid, hlm 17
[7] AbdulKadir Muhammad, Ibid, hlm 89
[8] Subekti, Op Cit, hlm 19
[9] M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm 6
[10] R. Subekti, Op Cit, hlm 19
[11] AbdulKadir Muhammad,Op Cit, hlm 94
[12] Ibid, hlm 94
[13] Ibid, hlm 96
[14] Ibid hlm 124
[15] R.Subekti, Op Cit, hlm 93
[16] Ibid, hlm 93
[17] Yahya Harahap, Op Cit, hlm 7
[18] Ibid, hlm 20
[19] AbdulKadir Muhammad, Op Cit, hlm 21
[20] wirjono Prodjodikoro, Ibid, hlm 44
[21] R.Subekti, Op Cit, hlm 45

Entri Populer