A.
LATAR
BELAKANG PERMASALAHAN
Ketentuan
tentang sewa menyewa diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), yaitu di dalam Buku ketiga Bab VII mulai dari Pasal 1548 sampai
dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Dalam Pasal 1548 KUH Perdata ditentukan bahwa sewa-menyewa adalah suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan
kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu
tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini
disanggupi pembayarannya.
Dalam
perjanjian tersebut, para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan isi,
bentuk dan juga objek sewa-menyewa asal saja memenuhi syarat-syarat sahnya
perjanjian seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata (Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata).
Perjanjian
sewa-menyewa merupakan suatu bentuk perjanjian yang sering dilakukan dalam
kehidupan bermasyarakat. Hubungan hukum ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan
dimana pihak yang satu tidak memiliki barang yang dibutuhkan, sehingga harus
menyewanya dari orang lain dengan membayar uang sewa kepada pihak yang
menyewakan atas kenikmatan yang ia dapatkan dari barang yang disewa dalam
jangka waktu tertentu.
Salah
satu objek perjanjian sewa-menyewa yang sekarang ini sangat dibutuhkan dalam
kegiatan perekonomian adalah toko. Yang dimaksud dengan toko adalah bangunan
yang terletak di pinggir jalan atau dalam komplek perdagangan dan digunakan
sebagai sarana untuk berdagang dan mencari keuntungan dengan berbagai jenis
usaha. Seperti berjualan pakaian jadi, kelontong, alat elekronik, rumah makan,
bengkel maupun berbagai jenis usaha lain.
Dalam
praktek menurut penelitian di kota Banda Aceh diketahui maraknya perjanjian
sewa-menyewa toko ini timbul karena besarnya tingkat permintaan bangunan untuk
usaha dan sebagian pengusaha yang berprofesi sebagai pedagang tidak memiliki
bangunan sendiri untuk usahanya, sehingga harus menyewa milik orang lain dalam
jangka waktu tertentu. Selain itu, tingginya permintaan sewa-menyewa toko ini
juga diakibatkan banyaknya bangunan toko yang rusak akibat bencana tsunami
beberapa tahun yang lalu sehingga sebagian korban yang merupakan para pedagang
tidak lagi memiliki bangunan ruko untuk usahanya.
Perjanjian
sewa-menyewa ruko biasanya dibuat dalam bentuk tertulis dan ada pula yang hanya
dibuat secara lisan dengan disertai selembar kwitansi pembayaran harga sewa
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Dalam perjanjian
sewa-menyewa toko selama ini telah mencakup nilai yang relatif besar akibat tingginya permintaan, hal ini
juga terlihat pada beberapa lokasi strategis lainnya di kota Banda Aceh. Harga
sewa bangunan toko mencapai nilai puluhan juta rupiah seperti di kawasan
Simpang Surabaya, Pasar Aceh. dan Pasar Peunayong yang harga sewanya berkisar
antara 25-50 juta pertahun.
Dari
hasil penelitian juga diketahui bahwa akibat tingginya nilai sewa ruko ini
mengakibatkan sebagian pengusaha mengalami kemerosotan penghasilan karena
penghasilannya harus dipotong biaya sewa toko tiap tahun. Sebagian pengusaha
memilih untuk tidak melanjutkan usahanya sementara sisa jangka waktu perjanjian
sewa toko masih lama sehingga menyebabkan si penyewa ingin mengalihkan hak
sewanya kepada pihak lain. Pengalihan hak sewa ini tentunya merupakan salah
satu pelanggaran terhadap isi perjanjian yang dibuat sebelumnya. Dimana dalam
perjanjian terdapat ketentuan bahwa penyewa tidak boleh mengalihkan bangunan toko
yang disewanya kepada pihak lain selama perjanjian berlangsung.
Hasil
penelitian di Kota Banda Aceh saat ini juga ditemukan adanya pengalihan hak
sewa bangunan toko kepada pihak lain tanpa persetujuan pemilik bangunan toko.
Hal ini sebagaimana terjadi pada objek sewa di kawasan Simpang Surabaya, Jeulingke,
dan Lamteumen Banda Aceh, di mana semula di sewa selama tiga tahun untuk usaha
pangkas, namun kemudian beralih menjadi bengkel karena penyewa pertama
mengalihkan kepada pihak lain. Hal ini tentunya mengakibatkan kerugian bagi
pemilik khususnya menyangkut kondisi toko yang semula hanya merupakan tempat
pangkas telah menjadi bengkel sepeda motor yang dalam kegiatan usahanya
biasanya berdampak pada kondisi bangunan toko. Demikian pula pada beberapa
lokasi lainnya seperti di pasar setui dan Neusu juga ditemukan adanya
pengalihan tersebut baik terhadap perjanjian yang dibuat secara tertulis maupun
perjanjian yang dibuat secara lisan.
Berdasarkan
uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut adalah:
1. Apakah
faktor yang menyebabkan pihak penyewa mengalihkan hak sewanya kepada pihak
lain?
2. Apakah
akibat hukum yang timbul dari tindakan pengalihan hak sewa tersebut terhadap
para pihak?
3. Bagaimanakah
penyelesaian sengketa pengalihan hak sewa tersebut dilakukan?
B.
TINJAUAN
PUSTAKA
1.
Pengertian
perjanjian dan perjanjian sewa menyewa
Ketentuan
Buku III KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian mempunyai arti yang lebih
luas sedangkan para sarjana memberikan defenisi yang beraneka ragam tentang
perjanjian. Di dalam ketentuan Buku III Pasal 1313 KUH Perdata ditentukan bahwa
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat
dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Pengertian
perjanjian juga diberi oleh para ahli hukum, diantaranya subekti, yang
mengatakan bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau dimana 2 (dua) orang saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal”.
Wirjono
Prodjodikoro mengemukakan “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai
harta benda antara 2 (dua) pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan
suatu hal sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu”.
Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa “perikatan yaitu
persetujuan yang terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih yang terletak dalam
lapangan harta kekayaan dimana pihak yang lainnya memenuhi prestasi”. Selanjutnya
menurut Abdul kadir Muhammad. “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana
2 (dua) orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan dalam lapangan
harta kekayaan”.
Dari
berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas bahwa
perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang lahir dari adanya janji atau
kesepakatan kedua pihak atau lebih dimana pihak yang satu (debitur) mengikatkan
dirinya pada pihak lain (kreditur) dengan maksud untuk menimbulkan suatu akibat
hukum terhadap prestasi yang disepakati bersama.
Dapat
dikatakan bahwa akibat hukum dari perjanjian/perikatan yaitu suatu perhubungan
hukum antara dua pihak/lebih berdasarkan mana pihak yang lain berhak menuntut
suatu hal yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu.
Perjanjian
yang melahirkan suatu perikatan dapat diketahui dalam Pasal 1233 KUH Perdata.
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena
undang-undang”.
Jadi
dari semua uraian di atas dapat diketahui bahwa perikatan yang lahir dari
perjanjian memang dikehendaki pada pihak, sedangkan perikatan yang timbul
karena undang-undang menurut Pasal 1352 KUH Perdata diperinci menjadi dua; yaitu
perikatan yang timbul semata-mata karena undang-undang dan perikatan yang
timbul dari undang-undang akibat dari perbuatan orang. Jadi dalam hal ini
perikatan merupakan peristiwa hukum yang konkrit karena adanya dua pihak yang
bersepakat dalam bentuk menandatangani perjanjian.
Selanjutnya
mengenai pengertian perjanjian sewa menyewa dapat dilihat dalam ketentuan Pasal
1548 KUH Perdata, perjanjian sewa menyewa adalah “suatu persetujuan dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain
kenikmatan dari sesuatu barang selama waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu
harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya”.
Menurut
Arief Masoeki dan H.M. Tirta Amijaya, perjanjian sewa menyewa merupakan
perjanjian untuk menyerahkan suatu barang untuk digunakan dalam jangka waktu tertentu
dengan harga tertentu pula.
Jadi,
perjanjian sewa menyewa adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu
memberikan sesuatu barang kepada pihak yang lain untuk dinikmati selama jangka
waktu tertentu dengan kewajiban membayar sejumlah harga sewa kepada pihak yang
menyewakan. Dengan ketentuan waktu yang tertentu tersebut, tidak berarti bahwa
perjanjian sewa menyewa hanya terbatas pada waktu tertentu saja tetapi para
pihak dapat saja membuatnya dengan tanpa batas waktu. Namun, harus ditentukan
tentang jenis barang dan besarnya harga sewa dalam waktu tertentu selama
berlangsungnya sewa menyewa.
2.
Syarat-syarat
Sahnya Perjanjian Sewa Menyewa
Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut menganut asas kebebasan berkontrak,
maksudnya setiap orang bebas mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian serta
bebas untuk menentukan bentuk dan isi dari perjanjian dimaksud menurut yang
dikehendaki dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya Pasal 1320 KUH Perdata menegaskan
bahwa “untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat”, yaitu:
1
Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya;
2
Kecakapan untuk membuat
suatu perjanjian;
3
Suatu hal tertentu dan;
4
Suatu sebab yang halal.
Ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kesepakatan yang dimaksud merupakan
persetujuan kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian. Mengenai hal
ini, Subekti merumuskan bahwa “maksud dari kesepakatan itu adalah kedua subjek
yang mengadakan perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang
pokok, apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lain
dan mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik”.
Sedangkan Abdul Kadir Muhammad
mengatakan bahwa sepakat sebagai suatu persetujuan kehendak, seia sekata antara
para pihak yang membuat perjanjian itu, pokok perjanjian itu berupa objek
perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang
satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.
Dalam kesepakatan ini menunjukkan bahwa orang sebagai subjek hukum bebas
menyatakan kehendaknya. Lahirnya suatu perjanjian karena adanya kesepakatan
kedua belah pihak yang dinyatakan secara tertulis maupun secara lisan.
Dalam perjanjian sewa menyewa ruko,
kesepakatan antara para pihak baik secara tertulis maupun secara lisan. Pihak
yang menyewakan secara bersama dengan penyewa membuat perjanjian sewa menyewa
tersebut. Akibat adanya perjanjian tersebut maka terjadi hubungan hukum antara
pemilik sebagai pihak yang menyewakan dengan penyewa. Apabila kesepakatan telah
tercapai di antara para pihak, maka para pihak terikat untuk mentaati semua isi
perjanjian yang telah mereka sepakati tersebut. Hal tersebut sejalan dengan
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Ad.2. kecakapan untuk membuat
perjanjian
Dalam membuat suatu perjanjian
seseorang haruslah cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam
perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan harus
dapat mempertanggung jawabkannya.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1329 KUH Perdata “bahwa setiap orang
adalah cakap untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang-orang yang oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap”.
M. Yahya Harahap, menyatakan banwa
“subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan adalah orang
yang mampu melakukan tindakan hukum. Umumnya mereka yang mampu melakukan
tindakan hukum adalah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang
sedang berada di bawah perwalian maupun di bawah pengampuan.
Ad.3. Suatu hal tertentu
yang
dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah sesuatu yang di dalam perjanjian
tersebut harus telah ditentukan dan disepakati. Ketentuan ini sesuai dengan
yang disebutkan pada Pasal 1313 KUH Perdata bahwa barang yang menjadi objek
suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah
barangnya tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau
dihitung, atau barang yang akan ada dikemudian hari juga bisa menjadi objek
dari suatu perjanjian, ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1334 ayat (1)
KUHPerdata. Selain itu yang harus diperhatikan adalah " suatu hal tertentu
" haruslah sesuatu hal yang biasa dimiliki oleh subjek hukum.
Syarat bahwa prestasi itu harus
tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan
kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan
perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat
dilaksanakan, maka perjanjian itu dianggap batal demi hukum.
Pernyataan yang demikian sejalan
dengan ketentuan Pasal 1338 KUH perdata yang menyatakan bahwa “hal-hal yang
diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau
sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya.
Ad.4. Suatu sebab yang halal
Untuk sahnya suatu perjanjian juga
harus memenuhi suatu syarat yang dinamakan dengan sebab atau alasan yang
diperbolehkan. Tetapi yang dimaksudkan dengan causa yang halal dalam Pasal 1320
KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong
orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu
sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.
Undang-undang tidak memperdulikan
apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau
diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan
yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
Jika perjanjian yang berisi causa
yang tidak halal maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak
ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim, karena sejak semula
dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat
itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada.
Dengan demikian apabila dalam membuat suatu perjanjian tidak terdapat suatu hal
tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena
itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang
diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang
diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan perundang-undangan, maka
perjanjian itu juga tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan.
3.
Hak
dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa menyewa
Hak
pihak yang menyewakan (pemilik objek sewa) diatur dalam Pasal 1548 KUH Perdata,
yang terpenting adalah;
1. Menerima
kembali barang dan kelengkapannya termasuk surat-surat yang berhubungan dengan
objek sewa menyewa yang telah disewakan kepada penyewa setelah habis batas
waktu yang ditentukan dalam perjanjian.
2. Menerima
harga sewa dari barang yang disewakannya kepada penyewa sejumlah yang
disepakati dalam perjanjian.
Sebaliknya dalam Pasal 1551 KUH
Perdata terdapat kewajiban pihak yang menyewakan:
1. Meyerahkan
barang yang disewakan kepada pihak penyewa.
2. Memelihara
barang yang disewakan, sehingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang
dimaksudkan oleh penyewa.
3. Memberikan
kepada penyewa suatu kenikmatan yang tentram dalam menikmati barang yang
disewa.
4. Melakukan
pembetulan-pembetulan pada barang-barang yang disewakan yang menjadi
kewajibannya.
5. Menanggung
penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan, yang menyebabkan
terintangnya pemakaian barang.
Pasal 1550 KUH Perdata menyebutkan
bahwa “penyerahan barang kepada penyewa haruslah dalam keadaan baik dan
terpelihara seluruhnya, sehingga penyewa dapat menikmatinya tanpa harus
memperbaikinya terlebih dahulu, kecuali sebelumnya telah diperjanjikan tentang
hal tersebut”
Kewajiban pihak yang menyewakan
untuk memelihara barang yang disewakan, sehingga barang tersebut dapat dipakai
sebagaimana yang dimaksudkan oleh penyewa berarti sebelum barang diserahkan
maupun pada saat barang itu ada di tangan penyewa, kewajiban memelihara tetap
ada pada pihak yang menyewakan, sehingga pemeliharaan ini ditanggung bersama
antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa.
Untuk kewajiban pihak penyewa dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 1581 KUH Perdata yang mewajibkan penyewa untuk
melengkapi perabot dalam rumah yang disewa, tujuannya adalah untuk melindungi
atau menjamin pembayaran harga sewa kepada yang menyewakan, sehingga jika pihak
penyewa tidak melakukan pembayaran, maka perabot-perabot yang ada di dalam
rumah dapat dipergunakan untuk melunasi harga sewa yang tidak dibayar. Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan oleh Subekti, bahwa perabot rumah itu dijadikan
jaminan untuk pembayaran uang sewa.
Pihak penyewa mempunyai tanggung
jawab terhadap kerusakan yang terjadi karena kesalahannya, sedangkan apabila
kerusakan di luar kesalahan pihak penyewa, pihak penyewa dibebaskan dari
tanggung jawab. Pihak penyewa dilarang mengulang sewakan barang yang menjadi
objek sewa kepada orang lain. Mengulang sewakan adalah jika penyewa menyewakan
lagi barang kepada orang lain, tetapi perjanjian sewa masih dipertahankan, sehingga
penyewa itu berada dalam hubungan sewa dengan pemilik.
Selanjutnya yang menjadi hak
penyewa adalah pada perjanjian pokok yang meliputi semua kewajiban yang ada
pada pihak yang menyewakan seperti yang diuraikan di atas, diantara yang utama
adalah hak untuk menerima barang yang disewanya dan menikmati barang yang
disewa dangan aman dan tenteram selama masa penyewaan.
4
Prestasi
dan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa
Dalam
setiap perjanjian yang melibatkan dua pihak pastilah mempunyai hak dan
kewajiban. Hak bagi salah satu pihak merupakan kewajiban/prestasi yang harus
dilaksanakan oleh pihak lainnya. Demikian pula dalam perjanjian sewa menyewa
seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya,
adalah suatu perjanjian konsensuil, dimana ada dua pihak; yaitu pihak yang
menyewakan (pemilik atau kuasanya) dan penyewa. Dengan adanya dua pihak ini,
maka hak kewajiban para pihak merupakan prestasi yang harus dilaksanakan.
Menurut
Yahya Harahap prestasi adalah objek atau voorweb
dari verbintennis, tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan
tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai kedudukan sebagai chudeisert atau kreditur, pihak yang
wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.
Dalam
membuat perjanjian sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu bahwa dalam suatu
perjanjian terdapat para pihak dimana masing-masing pihak mempunyai kewajiban
yang timbul dari perjanjian yang telah disepakati bersama. Hak dan kewajiban
itu harus dilaksanakan secara sukarela. Apabila hak dan kewajiban tersebut
tidak dilaksanakan atau dengan kata lain tidak memenuhi apa yang dijanjikan
maka ia dikatakan melakukan wanprestasi (ingkar janji).
Istilah
wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa belanda yang berarti
tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan
yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang.
Menurut
Abdul Kadir Muhammad wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat
pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya/sepatutnya.
Sedangkan menurut wirjono Prodjodikoro, wanprestasi adalah ketiadaan suatu
prestasi dan prestasi dalam hukum perjanjian berarti suatu hal yang harus
dilaksanakan sebagai suatu perjanjian.
Sekalipun
wanprestasi itu merupakan kelalaian debitur, tetapi dalam prakteknya sangat
sulit menentukan wanprestasi tersebut. Pasal 1238 KUH Perdata secara tegas
menyatakan bahwa “Si berutang adalah lalai, apabila dengan surat perintah atau
dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri ialah jika ia menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Selanjutnya
dalam hal wanprestasi, Subekti menyebutkan bahwa “apabila dalam tenggang waktu
debitur tidak memenuhi kewajiban prestasinya, maka dapat dikatakan debitur
wanprestasi.
Berdasarkan
pendapat di atas, bila dalam suatu perjanjian telah ditentukan bahwa objek dari
suatu perjanjian akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan, namun pada
waktu tersebut objeknya tidak diserahkan, sedangkan waktu telah tiba untuk
diserahkan. Dalam hal ini dikatakan telah terjadi wanprestasi atau ingkar janji
C.
RUANG
LINGKUP DAN TUJUAN PENELITIAN
Ruang lingkup penulisan skripsi ini
adalah dalam bidang hukum perdata khususnya dalam hukum perjanjian. Pelaksanaan
penelitian ini dilakukan dalam wilayah Kota Banda Aceh khususnya dalam perjanjian
sewa menyewa bangunan toko sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007. Adapun
tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
menjelaskan faktor yang menyebabkan pihak penyewa mengalihkan hak sewanya
kepada pihak lain.
2. Untuk
menjelaskan akibat hukum yang timbul dari tindakan pengalihan hak sewa tersebut
terhadap para pihak apabila dikaitkan dengan ketentuan perjanjian.
3. Untuk
menjelaskan penyelesaian sengketa pengalihan hak sewa tersebut dilakukan.
D.
METODE
PENELITIAN
1.
Defenisi
operasional variable-variabel penelitian
a. Perjanjian
adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
b. Perjanjian
sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang
selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak
tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.
c. Bangunan
toko adalah bangunan yang terletak dipinggir jalan atau dalam komplek
perdagangan dan digunakan sebagai sarana untuk berdagang dan mencari keuntungan
dengan berbagai jenis usaha
d. Perjanjian
sewa-menyewa toko adalah perjanjian sewa-menyewa dengan objek perjanjian bangunan
ruko.
e. Pengalihan
hak sewa adalah pengalihan hak sewa yang dilakukan oleh penyewa kepada pihak
lain tanpa persetujuan pemilik.
2.
Lokasi
dan populasi penelitian
a. Lokasi
penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian
adalah dalam wilayah Kota Banda Aceh khususnya pada beberapa lokasi strategis
perdagangan seperti Pasar Peunayong, Pasar Aceh. Jeulingke, Simpang Surabaya
dan Lanteumen.
b. Populasi
penelitian
Populasi dalam penelitian ini meliputi
pemilik bangunan, penyewa yang mengalihkan hak sewa, penerima pengalihan,
kepala desa dan notaris.
3.
Cara
pengambilan sampel
Pengambilan sampel dari
penelitian ini dilakukan secara kelayakan (purposive
sampling). Yaitu sampel diambil dari populasi yang diperkirakan dapat
mewakili keseluruhan populasi yang terdiri dari responden dan informan.
a. Responden
:
1) Pemilik
bangunan toko 7 orang
2) Penyewa
yang mengalihkan hak sewa toko 7 orang
3) Penerima
pengalihan hak sewa 7 orang
b. Informan
:
1) Kepala
Desa 5 orang
2) Notaris
di Banda Aceh 5 orang
4.
Cara
pengumpulan data
a. Data
sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara mempelajari peraturan
perundang-undangan, buku-buku, teori yang berhubungan dengan tulisan ini.
b. Penelitian
lapangan (field research) dilakukan
untuk meperoleh data primer yang dilakukan dengan cara wawancara dengan
responden dan informan.
5.
Cara
menganalisis data
Data
yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan dianalisis
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk
menghasilkan data deskriptif analisis terhadap peralihan hak sewa yang
dilakukan oleh penyewa kepada pihak ketiga. Bahan analisis diperoleh baik
secara tertulis atau dokumen-dokumen perjanjian yang dibuat para pihak maupun
secara lisan dari wawancara dengan responden dan informan, kemudian dipelajari
dan diteliti sebagai suatu kesatuan yang utuh. Dengan penelitian ini diharapkan
dapat menghasilkan analisis yang mampu menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan.
DAFTAR PUSTAKA
AbdulKadir Muhammad, Segi-segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986.
……., Hukum Perikatan Indonesia, Alumni,
Bandung, 1990.
Achmad
Ichsan, Hukum Perdata IB, Pembimbing
Masa, Jakarta, 1976.
……., Hukum Dagang, Pradya Paramita, Jakarta,
1990.
Arief Masdoeki dan H.M. Tirtaamitdjaya, Asaa-asas dan Dasar Hukum Perdata,
Pembimbing Masa, Jakarta, 1976.
Departemen Kehakiman, Kumpulan Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata,
Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983.
Munir Fuadi, Hukum Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995.
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985.
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung 1977.
Subekti, R., Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1977.
……., Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta,
1987.
……., Aneka
Perjanjian, Alumni, Bandung, 1988.
Suryaningrat, M. Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur,
Bandung, 1973.
……., Hukum
Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1974.
Yahya Harahap, M. Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982.