Sabtu, 25 Februari 2012

Penafsiran dan Konstruksi Hukum

Penafsiran Hukum (Rechtsinterpretatie)

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
Menurut Prof. J.H.A. Logemann : “Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang itu.”
Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak pembuat undang-undang itulah maka dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa metoda atau cara menafsirkan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan seorang ahli hukum yaitu :
  1. Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat didalam suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-undang dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tertentu.
  2. Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.
  3. Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran terhadap satu atau lebih peraturan perundang-undangan, dengan cara menyelidiki suatu sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata hukum, dalam rangka penemuan asas-asas hukum umum yang dapat diterapkan dalam suatu masalah hukum tertentu.
  4. Penafsiran sosiologis (teleologis), sejalan dengan pandangan Prof. L.J.van Apeldoorn, maka salah satu tugas utama seorang ahli hukum adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal konkrit yang ada di dalam masyarakat.
  5. Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau pengertian didalam peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang sendiri.
Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim untuk memeriksa dan memberi keputusan atas perkara yang diserahkan kepadanya dan tidak diperbolehkan menolak dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas pengaturannya. Dalam hal demikian dalam Pasal 28 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berarti seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Rechtsvinding merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, maka hakim dapat melakukan konstruksi dan penghalusan hukum.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam Konstruksi Hukum antara lain:
a) Hakim meninjau kembali sistem material yang mendasari lembaga hukum yang dihadapinya sebagai pokok perkara;
b) Berdasarkan sistem itu, hakim kemudian berusaha membentuk suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) baru dengan cara membandingkan beberapa ketentuan di dalam lembaga hukum yang bersangkutan, yang dianggap memiliki kesamaan-kesamaan tertentu;
c) Setelah pengertian hukum itu dibentuk, maka pengertian hukum itulah yang digunakan sebagai dasar untuk mengkonstruksi suatu kesimpulan dalam penyelesaian perkara.
Pada dasarnya, konstruksi hukum dinamakan analogi, tetapi di dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa bentuk konstruksi hukum yang sebenarnya merupakan variasi dari analogi itu, yaitu konstruksi Penghalusan Hukum dan konstruksi Argumentum a Contrario.

Konstruksi Hukum / Komposisi Hukum (Rechtsconstructie)

1. Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam)
Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio ledis (genus) dari suatu undang-undang dan kemudian menerapkannya kepada hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu.
Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus hukum perdata. Hukum pidana tidak mengenal analogi karena hal demikian bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa ketentuan perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu” (nullum crimen sine lege). Karena di dalam pidana jika digunakan konstruksi analogi akan menciptakan delik baru.
Maka dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum memasukkan suatu perkara kedalam lingkup pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dibuat untuk menyelesaian perkara yang bersangkutan.
2. Konstruksi Penghalusan Hukum (rechtsverfijning)
Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara, peraturan perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan.
Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan (bersifat restriktif).
3. Argumentum a Contrario
Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan oleh peraturan itu. Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan suatu kesimpulan yang positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan pada konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak mungkin menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang dihadapinya.

Pemahaman Terhadap Konsep Penemuan Hukum

Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (-seluruh manusia tanpa terkecuali-). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; fiat justitia et pereat mundus ( meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan ). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah digunakan. 

Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.
Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum.
Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.
Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu :
a. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
b. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.

Kegunaan Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat.
Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa:
a. Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan;
b. Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat.
c. Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi.

Hukuman Mati, Inkonsistensi Negara Terhadap Ideologi dan Konstitus

Pro dan kontra mengenai hukuman mati akhir-akhir ini kembali mencuat setelah sembilan hakim konstitusi berbeda pendapat ketika melakukan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945 khususnya mengenai penerapan hukuman mati dalam UU Narkotika. Enam hakim, termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan pasal 28 A dan pasal 28 I UUD 1945. Sedangkan tiga hakim lainnya, yaitu Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan Maruarar Siahaan, menyatakan ketidak-setujuannya atas eksistensi hukuman mati.

Sungguh mengecewakan mendengar beberapa pejabat negara, seperti Ketua DPR Agung Laksono, mengemukakan pendapatnya untuk segera melakukan eksekusi mati terhadap terpidana mati, khususnya pelaku kasus bom Bali. Mereka yang seharusnya melindungi hak asasi dari setiap warga negara justru menginginkan eksekusi mati atas warga negaranya. Terlebih lagi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi yang mengatakan bahwa hukuman mati tidak mengurangi hak hidup dan bukan bentuk balas dendam atas tindakan kejahatan. Tetapi selanjutya Hasyim mengatakan apabila seseorang yang telah dieksekusi mati ternyata tidak bersalah, maka itu menjadi tanggung jawab hakim yang memutuskan hukuman mati tersebut dan kesalahan hakim seperti itu pantas diganjar hukuman mati. Jadi, sebenarnya argumen apa yang digunakan Hasyim untuk mengatakan bahwa hukuman mati itu bukan bentuk balas dendam atas kesalahan seseorang?

Perlu diketahui bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum kita ini adalah untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah­kan martabat manusia. Hukuman mati bukan cara yang tepat untuk membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana dan dengan eksekusi mati, tujuan untuk memasyarakatkan terpidana agar menjadi orang yang baik dan berguna serta dapat diterima kembali di masyarakat tidak dapat tercapai. Hukuman mati ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik. Sehingga muncul pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang bersangkutan menjalani double punishment.

Sesuai dengan Pancasila yang memiliki kedudukan sebagai dasar filsafat kenegaraan dan merupakan guiding principle dalam menjalankan kegiatan bernegara di Indonesia, khususnya sila pertama dan kedua, dalam UUD 1945 pasal 28 A disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selanjutnya pasal 28 I ayat 1 menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Maka, patut kita pertanyakan metode penafsiran apa yang digunakan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan lima hakim konstitusi lainnya yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945?

Selain pasal 28 UUD 1945, hak untuk hidup juga diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 4 UU HAM dinyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non-derogable rights). Dengan dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia berarti negara telah mengabaikan kewajibannya untuk menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya.

Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya. Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya.

Dalam forum internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melakukan penelitian mengenai hukuman mati pada tahun 1988 dan memperbaharuinya pada tahun 2002. Dalam kesimpulannya dinyatakan "…it is not prudent to accept the hypothesis that capital punishment deters murder to a marginally greater extent than does the threat and application of the supposedly lesser punishment of life imprisonment". Berdasarkan penelitian tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan agar setiap negara menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum nasionalnya, serta tidak perlu khawatir akan terjadinya peningkatan tindak kejahatan apabila hukuman mati tersebut dihapuskan.

Hukuman mati belum tentu akan membuat angka kejahatan akan berkurang atau membuat seseorang merasa takut untuk melakukan kejahatan sejenis dengan terpidana mati. Seperti kita ketahui pada kasus Poso, eksekusi mati terhadap Tibo Cs tidak membuat warga Poso takut untuk terlibat konflik antar kelompok seperti yang dilakukan Tibo Cs, tetapi justru memicu konflik antara kelompok pendukung dan kelompok penentang eksekusi mati terhadap Tibo Cs. Dari kasus ini terlihat bahwa tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan upaya pencegahan tindak kejahatan. Maka, dapat dikatakan hukuman mati sama dengan gambling with human life.

Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

sebelumnya telah diuraikan, bahwa suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang, (legally concluded contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.
   adapun syarat sahnya suatu perjanjian atau persetujuan telah ditentukan di dalam pasal 1320 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa:
   "untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat:
a. sepakat mereka yang mengikatkan diri.
   maksudnya adalah kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut haruslah bersepakat, setuju atas hal-hal yang diperjanjikan. dengan tanpa ada paksaan atau dwang, kekeliruan atau dwaling, dan penipuan atau bedrog. karena itu manakala hal-hal tersebut telah terpenuhi, maka kata sepakat yang merupakan unsur utama dari empat syarat dalam suatu perjanjian tersebut telah dipenuhi.

b. Kecakapan membuat suatu perjanjian
   maksud membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum dan yang bisa melakukan suatu hubungan hukum adalah mereka yang bisa dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. pihak yang dikatakan sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah orang dan badan hukum. siapa-siapa saja yang bisa disebutkan sebagai pendukung hak dan kewajiban, baik orang maupun badan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
   jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain sebagai beerikut:
  1. adanya harta kekayaan yang terpisah,
  2. mempunyai tujuan tertentu,
  3. mempunyai kepentingan sendiri,
  4. ada organisasi.
   jika para pihak yang membuat perjanjian adalah orang, maka orang yang dianggap sebagai subjek hukum yang bisa melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, adalah orang-orang yang tidak termasuk di dalam ketentuan pasal 1330 KUHPerdata, yang menentukan bahwa:
   "tak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:
  1. orang-orang yang belum dewasa
  2. mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
  3. orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada     siapa undang-undang telah melarang membuat suatu perjanjian-perjanjian tertentu. 

c. suatu hal tertentu
   yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah sesuatu yang didalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati. ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada pasal 1313 KUHPerdata bahwa barang yang menjadi objek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya.
   tidak menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. atau barang yang akan ada dikemudian hari juga bisa menjadi objek dari suatu perjanjian, ketentuan ini disebutkan pada pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata. selain itu yang harus diperhatikan adalah " suatu hal tertentu " haruslah sesuatu hal yang biasa dimiliki oleh subjek hukum.

d. suatu sebab yang halal
   menurut undang-undang sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan dalam pasal 1337 KUHPerdata.
   suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab akibat atau kausa yang tidak halal, misalnya jual beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum, memberikan kenikmatan seksual tanpa nikah yang sah.

   dari keempat ketentuan tentang syarat-syarat tersebut diatas, dapat dibedakan menjadi dua macam syarat, yaitu:
1). syarat subyektif
   maksudnya, karena menyangkut mengenai suatu subyek yang disyaratkan dalam hal ini termasuk syarat-syarat pada huruf a dan b, yaitu tentang syarat sepakat antara pihak yang mengikatkan diri dan syarat tentang kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
2). syarat obyektif
   maksudnya, adalah obyek yang diperjanjikan tersebut, yaitu termasuk dalam syarat-syarat c dan d, dalam hal ini tentang syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Pengertian Tentang Perjanjian

Jika kita membicarakan tentang defenisi perjanjian, maka pertama-tama harus diketehui ketentuan pengertian perjanjian yang diatur oleh KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi: 
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. 
Dengan adanya pengertian tentang perjanjian seperti ditentukan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang, hali ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut dibandingkan dengan kedudukan perjanjian kerja. 
Di dalam pengertian perjanjian kerja, para pihak yang mengadakan perjanjian tidak dalam kedudukan yang sama dan seimbang, karena pihak yang satu yaitu pekerja mengikatkan diri dan bekerja dibawah perintah orang lain, yaitu pengusaha. 
Akan tetapi jika pengertian mengenai perjanjian seperti tersebut diatas dilihat secara mendalam akan terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata mempunyai arti yang luas dan umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian tersebut dibuat. Hal ini terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut konsepsi pasal 1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang atau lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya, dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat. 
Karena itu suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
Dalam suatu perjanjian dikenal adanya asa kebebasan berkontrak atau freedom of contract. Maksud asa tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Atau dengan pengertian lain asas kebebasan kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Selanjutnya dalam suatu perjanjian, pasal-pasal yang mengatur tentang perjanjian tersebut, biasa dinamakan dengan optimal law. Karena ketentuan dari pasal-pasal yang mengaturnya, boleh disingkirkan oleh pihak yang membuat suatu perjanjian.
    Menurut Abdul Kadir Muhammad, SH, dalam bukunya yang berjudul hukum perikatan, antara lain disebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsure, yaitu:
a.       Ada pihak-pihak
b.      Ada persetujuan antara para pihak
c.       Ada tujuan yang akan dicapai
d.      Ada prestasi yang harus dilaksanakan
e.       Ada bentuk tertentus
f.       Ada syarat-syarat tertentu.

Pentingnya Profesionalisme, Mentalitas, dan Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Penegakan Hukum yang Sistematik

Tanpa budi pekerti yang luhur, para ahli hukum hanya akan menjadi monster dari pada malaikat penolong“ (Geery Spence)  Aparat penegak hukum saat ini menjadi sorotan utama masyarakat karena  belum bisa tampil seperti yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu perlu dicari solusi agar harapan masyarakat tersebut bisa segera terwujud. Ada banyak faktor yang menyebabkan kondisi yang demikian, diantaranya adalah masih kurangnya profesionalisme dan rendahnya mentalitas aparat penegak hukum. Penegakan hukum pada dasarnya merupakan konsekuensi atas pilihan Negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Penegakan Hukum (law enforcement) mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum melalui prosedur hukum. Hal terpenting dalam penegakan hukum sesungguhnya adalah pencapaian atas  tujuan hokum yang meliputi: kepastian hukum (rechtszeherheid), kemanfaatan (rechtsmatigheid) dan keadilan (gerichtigheid). Upaya mencapai ketiga tujuan hukum perlu dipahami dan dikembangkan dalam satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan (legal structure), elemen materi hukum (legal sustance), dan elemen budaya hukum (legal culture) sebagaimana dimaksud oleh Friedmen. Dari pendekatan kesisteman tersebut bisa terlihat bahwa saat ini, permasalahan utama dalam penegakan hukum yang dihadapi adalah  rendahnya profesionalisme dan mentalitas aparat penegak hukum di mata masyarakat, disamping kurang harmonisnya peraturan perundang-undangan, kurangnya fasilitas (sarana dan prasarana) yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum, serta kurangnya kesadaran hukum, masyarakat. Peningkatan profesionalisme dan mentalitas aparat penegak hukum merupakan persoalan yang cukup kompeks. Pembenahan mentalitas ini perlu dilakukan sejak dini, bahkan sebelum memasuki perkuliahan di Fakultas hukum. Jika ditarik lebih ke belakang, persoalan mendasar di bidang hukum adalah memang masalah pendidikan hukum. Penegakan hukum tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila insan-insan hukum untuk menegakkan hukum dan keadilan tidak diajari dan dibekali ilmu dengan baik. Sistem pembelajaran yang berlangsung pada lembaga-lembaga pendidikan hukum tidak seharusnya sekedar bersifat transfer pengetahuan (transfer of knowledge) belaka dan berorientasi positivistik. Sistem pembelajaran yang demikian memiliki kecenderungan untuk mencetak tukang (legal mechanics) dan tidak membentuk perilaku calon insan-insan hukum yang memiliki integritas diri yang adil, jujur, dan humanis. Sistem pembelajaran hukum harus mampu mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban pada tingkatan sosial yang berbeda. Secara umum pendidikan pada level individu, membantu mengembangkan potensi dirinya menjadi manusia yang berakhlak mulia, berwatak, cerdas, kreatif, sehat, estetis serta mampu melakukan sosialisasi dan transformasi, dari manusia pemain menjadi manusia pekerja dan dari manusia pekerja menjadi manusia pemikir. Pembelajaran hukum diharapkan juga melahirkan kemampuan individu untuk  menghargai dan menghormati adanya perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka dan demokratis. Dengan demikian semakin banyak orang yang terdidik baik, maka semakin dapat dijamin adanya toleransi dan kerjasama antar budaya dalam suasana yang demokratis, yang pada gilirannya akan membentuk integrasi budaya nasional dan regional dari sini jelas terlihat peranan pendidikan terhadap perkembangan kebudayaan. Pembelajaran hukum sebaiknya tidak hanya ditujukan untuk mempersiapkan orang-orang yang memiliki profesionalisme dan kemahiran untuk menerapkan hukum yang ada, serta berguna dalam memelihara ketertiban menurut ketentuan-ketentuan hukum positif yang ada. Tetapi lebih jauh dari itu, pendidikan di fakultas hukum juga harus mampu menciptakan masyarakat yang dikehendaki melalui teknik hukum dan perundang-undangan yang mengarah kepada profesionalisme sekaligus tidak tercerabut dari nilai-nilai budaya dan memiliki integritas moral. Dengan demikian  pendidikan hukum akan memberikan kontribusi yang lebih baik bagi pembentukan sistem hukum di Indonesia.

Jumat, 24 Februari 2012

Memahami Tujuan Hukum

Apakah yang merupakan tujuan hukum?
jawaban atas pertanyaan ini sama sulitnya dengan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan lain yang menyangkut hakikat hukum seperti apakah hukum itu, apakah ilmu hukum itu?

Berbagai pakar di bidang hukum maupun di bidang ilmu sosial lainnya mengemukakan pandangannya masing-masing tentang tujuan hukum, sesuai dengan titik-tolak serta sudut pandang mereka.
Namun dari keseluruhan pendapat tentang apa yang merupakan tujuan hukum, penulis dapat mengklarifikasikannya ke dalam 3 aliran konvensional, masing-masing:

1. Aliran etis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.

2. Aliran utilistis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga.

3. Aliran normatif-dogmatik yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.

Menurut Prof.Dr.Achmad Ali SH, MH. Tentang tujuan hukum.
ketiga aliran diatas menurut prof.dr achmad ali SH, MH. adalah aliran konvensional yang ekstrim, dan sulit untuk kita anut dalam masyarakat hukum yang kompleks seperti kini.
Achmad ali mengemukakan bahwa persoalan tujuan hukum dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, masing-masing:
1. Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis-dogmatik, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya.
2. Dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan
3. Dari sudut pandang segi sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya.
dengan demikian mau tak mau kita kembali teringat pada apa yang pernah dikemukakan oleh Gustav Radbruch dengan istilahnya tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, masing-masing keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum

sebenarnya yang dinamakan oleh radbruch sebagai tiga nilai dasar hukum, itu juga yang kita sebut sebagai tujuan hukum dalam makna yang lain. dengan lain perkataan tujuan hukum adalah:
a. keadilan
b. kemanfaatan
c. kepastian hukum

secara khusus, masing-masing bidang hukum mempunyai tujuan yang spesifik, sebagai contoh hukum pidana tentunya mempunyai tujuan spesifik di bandingkan dengan hukum perdata: demikian pula hukum Formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum materil, demikian pula bidang-bidang hukum lainnya.

kalau dikatakan bahwa tujuan hukum adalah sekaligus: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataannya? seperti kita ketahui, didalam kenyataannya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan atau ketegangan dengan kemanfaatan: atau antara keadilan terjadi ketegangan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi ketegangan dengan kemanfaatan. sebagai contoh, dalam kasus-kasus hakim tertentu kalau hakim menginginkan putusan "adil"( menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hakim tersebut tentunya ) bagi si penggugat atau si tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan perasaan keadilan bagi orang-orang tertentu terpaksa di korbankan. oleh karena itu, bagaimanapun adalah hal yang menarik dibahas, bagaimana sebenarnya hubungan antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum.
Prof Dr. Achmad ali SH.MH. mengatakan sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh radbruch untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas tersebut. yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum. karena ia menganggap hal lebih relistis jika kita menganut asas prioritas yang kasuistis  maksudnya adalah ketiga tujuan hukum kita prioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum. ia yakin jika asa prioritas kasuistis ini yang kita anut, maka sistem hukum kita akan terhindar dari berbagai konflik yang tak terpecahkan.

 catatan : untuk memahami lebih mendalam tentang materi yang saya kemukakan diatas silahkan baca bukunyai "MENGUAK TABIR HUKUM" oleh : Prof. Dr Achmad Ali SH, MH

Implementasi Politik dan Strategi Nasional di Berbagai Bidang

Implementasi politik dan strategi nasional di bidang hukum:
  1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.
  2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang–undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaianya dengan reformasi melalui program legalisasi.
  3. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas korupsi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.
  4. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan. Penghormatan dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
  5. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.

Implemetasi politk strategi nasional dibidang ekonomi :
  1. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai–nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak–hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
  2. Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar distortif, yang merugikan masyarakat.
  3. Mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang menganggu mekanisme pasar, melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif, yang dilakukan secara transparan dan diatur undang–undang.
  4. Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang adil bagi masayarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak–anak terlantar dengan mengembangkan sistem dan jaminan sosial melalui program pemerintah serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya dilakukan dengan birokrasi efektif dan efisien serta ditetapkan dengan undang–undang.
  5. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komperatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil dan kerajinan rakyat.
  6. Mengelola kebijakan makro dan mikro ekonomi secara terkoordinasi dan sinergis guna menentukan tingkat suku bunga wajar, tingkat inflasi terkendali, tingkat kurs rupiah yang stabil dan realitis, menyediakan kebutuhan pokok terutama perumahan dan pangan rakyat, menyediakan fasilitas publik yang memadai dan harga terjangkau, serta memperlancar perizinan yang transparan, mudah, murah, dan cepat.

Implementasi politik strategi nasional di bidang politik :
  1. Memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada kebhinekatunggalikaan. Untuk menyelesaikan masalah–masalah yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perlu upaya rekonsiliasi nasional yang diatur dengan undang–undang.
  2. Menyempurnakan Undang–Undang Dasar 1945 sejalan dengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara kesatuan dan persatuan bengsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan Undang–Undang Dasar 1945.
  3. Meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan lembaga–lembaga tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
  4. Mengembangkan sistem politik nasional yang berkedudukan rakyat demokratis dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang menghormati keberagaman aspirasi politik, serta mengembangkan sistem dan penyelengaraan pemilu yang demokratis dengan menyempurnakan berbagai peraturan perundang–undangan dibidang politik.

Secara umum Pembangunan Daerah adalah sebagai berikut :
  • Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh masayrakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Melakukan pengkajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi daerah propinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan desa.
  • Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan ekonomi daerah.
  • Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agribisnis, indutri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan penguasaan teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam.
  • Mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi perizinan dan investasi serta pengelolaan sumber daya.
  • Memberdayakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka melaksanakan fungsi dan perannya guna memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup :
  • Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
  • Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
  • Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang–undang.
  • Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar–besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang–undang.
  • Menerapkan indikator–indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan pembaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.

Implementasi di bidang pertahanan dan keamanan :
  • Menata Tentara Nasional Indonesia sesuai paradigma baru secara konsisten melalui reposisi, redefinisi, dan reaktualisasi peran Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara untuk melindungi, memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap ancaman dari luar dan dalam negeri, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memberikan darma baktinya dalam membantu menyelenggarakan pembangunan.
  • Mengembangkan kemampuan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta yang bertumpu pada kekuatan rakyat dengan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Repuiblik Indonesia sebagai kekuatan utama didukung komponen lainnya dari kekuatan pertahanan dan keamanan negara dengan meningkatkan kesadaran bela negara melalui wajib latih dan membangun kondisi juang, serta mewujudkan kebersamaan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan rakyat.
  • Meningkatkan kualitas keprofesionalan Tentara Nasional Indonesia, meningkatkan rasio kekuatan komponen utama serta mengembangkan kekuatan pertahanan keamanan negara ke wilayah yang di dukung dengan sarana, prasarana, dan anggaran yang memadai.

Entri Populer